Minggu, 16 Oktober 2011

Buku PKn SMA Dinilai Picu Radikalisasi

JAKARTA- Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listiyarti mengungkapkan, pendidikan multikultural itu seharusnya sudah diajarkan di bangku sekolah. Sayangnya, buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas X, XI, dan XII yang tidak ada satupun yang menyebut materi multikultural. Padahal, buku PKn yang dipergunakan untuk siswa SMA itu berasal dari 9 penerbit.


"Minimnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai pendidikan multikultural ini menjadi salah satu pemicu munculkan radikalisasi di Indonesia saat ini," kata Retno dalam Seminar Hasil  Penelitian Buku Teks PKn SMA & Pelatihan Pembelajaran Multikultural di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (14/6).


Dikatakan Retno, radikalisasi itu sebenarnya bisa saja diminimalisir dengan menanamkan nilai-nilai multikultural. Tapi sayangnya pendidikan mengenai multikultural tidak pernah dibahas di tingkat sekolah.


"Secara langsung atau tidak, dipastikan dapat berdampak pada proses pembelajaran yang kurang menanamkan nilai-nilai multikultural yang mengakibatkan munculnya radikalisasi di masyarakat. Padahal, pendidikan yang berkualitas di Indonesia itu sangat membutuhkan pendidikan multikultural karena bangsa Indonesia sangat majemuk dalam plural," ungkap Retno lagi.


Retno menyebutkan bahwa persoalan multikultural tidak bisa disandarkan pada kuantitas semata. Menurutnya, ada persepsi bahwa apa yang disebut dengan agama adalah yang diakui negara secara hukum legal formal. Jika melihat Indonesia secara lebih luas dan mendalam, lanjut Retno, terlihat keanekaragaman agama bukan soal satu atau enam jenis agama semata, tetapi lebih dibutuhkan sebuah pengakuan terhadap semua keyakinan yang tumbuh di masyarakat.


"Inilah yang kurang dipahami masyarakat. Sehingga mudah terjadinya radikalisasi. Pemahaman dan praktik multikulturalisme sebenarnya dapat menjadi benteng dari radikalisasi itu," imbuhnya.


Dikatakan Retno, hal yang paling ironi adalah bahwa guru SMA yang mengajar bidang studi PKn ternyata juga tidak melihat persoalan multikulturalisme sebagai sebuah persoalan kewarganegaraan dibandingkan dengan persoalan akhlak mulia dan agama.


"Para guru menganggap persoalan multikultural masih milik sosiologi yang sebenarnya lebih cenderung pada deskriptif terhadap masyarakat. Para guru memang mengerti tentang pendidikan multikultural tetapi masalahnya mereka kurang kritis dalam memahami konsep dan nilai-nilai multikultural pada sikap dan tindakan praktis dalam kegiatan proses belajar mengajar," papar Retno.


Oleh karena itu, pemerintah diminta lebih memperhatikan dan fokus pada pendidikan multikultural di dalam pembahasan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat kebijakan lebih jelas  yang dapat memayungi pelaksanaan pendidikan multikultural pada  pendidikan formal.


Peraturan mengenai pendidikan multikultural itu, kata Retno lagi, sebenarnya sudah ada pada Perpres No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2009-2014). Tepatnya, pada Bab 27 tentang peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas-huruf C-arah kebijakan poin No. 12 yang menyinggung tentang pendidikan multikultural.


"Sayangnya, arah kebijakan pendidikan ini tidak diuraikan secara nyata dalam berbagai peraturan terkait kebijakan pendidikan di Indonesia," ujarnya.(cha/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar