Senin, 05 Desember 2011

Sekjen MK: “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah Keniscayaan”


Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar memuji semangat para guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Berprestasi Tingkat Nasional 2011 yang mampu merumuskan identifikasi permasalahan dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, sekaligus memberikan alternatif solusi serta merumuskan rekomendasi terhadap proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

“Identifikasi masalah, alternatif solusi, rekomendasi para guru PKn terhadap proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itulah yang saya harapkan,” ujar Janedjri menanggapi hasil rapat Pleno yang disampaikan para Wakil Komisi dalam “Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Bagi Guru PKn Tingkat Nasional 2011” pada Kamis (24/11) siang di Jakarta.

Dijelaskan Janedjri, dari  identifikasi masalah, alternatif solusi dan rekomendasi para guru PKn terhadap proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, terdapat 3 aspek. Pertama adalah aspek kebijakan pemerintah.

“Aspek yang kedua adalah substansi atau materi pembelajaran. Sedangkan aspek yang ketiga, metode dan teknis pembelajaran,” imbuh Janedjri.

Selain itu, Janedjri ‘menangkap’ adanya kesepakatan dari para guru PKn yang mengikuti “Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Bagi Guru PKn Tingkat Nasional 2011”.

“Perlunya Pancasila dimasukkan kembali ke dalam mata pelajaran anak didiknya. Istilah PKn diusulkan agar diubah menjadi PPKn yaitu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,” ucap Janedjri kepada para guru PKn yang hadir. 

Dalam kesempatan itu, Janedjri mengimbau kepada para guru PKn agar merumuskan  rekomendasi yang telah dibuat dari rapat Pleno dari masing-masing Komisi.

“Silahkan bapak dan ibu guru agar menyusun dan merumuskan garis-garis besar rekomendasi.  Setelah itu, hasil rumusan itu disampaikan kepada Ketua MK, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama,” urai Janedjri. Salah satu rekomendasi yang disampaikan para guru PKn adalah Mahkamah Konstitusi membentuk forum yang melibatkan wakil-wakil dari daerah secara terstruktur. Janedjri meminta agar rekomendasi ini dikaji oleh para guru PKn.

Lebih lanjut Janedjri menjelaskan, pada 2012 diharapkan dapat terbentuk Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, yang akan menjadi pusat kegiatan guru-guru PKn. Selain itu diharapkan adanya Asosiasi Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang akan menjadi ajang pertemuan rutin para guru PKn untuk mengkaji berbagai program terkait Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

“Ke depan, pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tidak hanya berhenti pada tataran kognitif, tetapi juga pada tataran afektif. Lebih jauh lagi, hingga ke tataran psikomotorik,” papar  Janedjri.

Dengan demikian, sambung Janedjri, pada masa mendatang masyarakat Indonesia tidak hanya memahami Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan saja, tetapi juga bisa melaksanakannya.

“Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah sebuah keniscayaan. Dalam rangka itu semua, Mahkamah Konstitusi ‘menggandeng’ bapak dan ibu guru PKn untuk ikut memikul tanggung jawab melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi. Di antaranya, menyelenggarakan acara ‘Anugerah Konstitusi Bagi Guru PKn Berprestasi,” tandas Janedjri.

Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6187

Minggu, 16 Oktober 2011

Guru PKn Agen Perubahan Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu

Jumat, 29 Juli 2011 15:32


29.7.2011_mataramOK
Suasana Seminar Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu dan Pemilukada di Kota Mataram, NTB, Selasa (21/6). Guru (PKn) Dapat Menjadi Agen Perubahan. (foto: tim liputan)
Mataram, mediacenter.kpu.go.id- Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk kedua kalinya, pada Selasa (21/6) lalu, mengadakan kegiatan Sosialisasi Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada (Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kegiatan yang diselenggarakan bersama KPU Provinsi NTB itu dihadiri sekitar 100 orang peserta yang sebagian besar merupakan para guru dan dosen Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di wilayah Mataram. 

Dalam kegiatan tersebut, hadir Anggota KPU RI, Dra. Endang Sulastri, M.Si; Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU, Drs. Suripto Bambang Setyadi, M.Si; Ketua dan Anggota KPU Provinsi NTB, serta Sekretaris KPU Provinsi NTB dan jajarannya.

Kegiatan sosialisasi diawali dengan penyampaian laporan oleh Sekretaris KPU Provinsi NTB, dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua KPU NTB, Fauzan Khalid.

Fauzan menyampaikan, KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu dan pengawal demokrasi memiliki kepentingan agar peran serta masyarakat dalam politik dapat meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. 

“KPU Provinsi NTB juga berharap agar kegiatan seperti ini dapat dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota. Bila memungkinkan, ada tindak lanjut berupa penjajakan dan penandatanganan kesepahaman/kerjasama (MoU) dengan Bupati/Walikota agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan di tingkat sekolah,” ujarnya. 

Sekjen KPU dalam sambutannya menyampaikan, kegiatan sosialisasi merupakan salah satu program kerja KPU untuk melibatkan masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada.

“Peningkatan peran serta masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sosialisasi, pendidikan politik bagi pemilih, survey, dan penghitungan cepat. Alasan dipilihnya guru PKn sebagai sasaran kegiatan karena guru merupakan salah satu agen perubahan yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada, terutama kepada anak didiknya sebagai pemilih pemula,” tandas Suripto.

Nara sumber dalam kegiatan yang berlangsung di salah satu hotel di Mataram itu adalah Anggota KPU, Endang Sulastri; Prof. M. Qazuini; dan Ilyas Sarbini. 

Dalam paparannya, Endang menyampaikan pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu (kada), termasuk pemilih pemula. Menurutnya, pemilih pemula adalah pemilih yang baru memasuki usia pemilih (17 tahun) atau baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, biasanya terdiri dari kaum remaja atau pemuda. 

Dengan karakteristik yang dimiliki, para pemilih pemula memiliki potensi yang besar, baik secara kuantitas dan kualitas. “Mereka (pemilih dari kaum remaja atau pemuda-red) adalah calon pemimpin di masa depan sehingga sejak dini harus ditanamkan budaya politik demokrasi yang egaliter, menghargai perbedaan, dan mengakui kesetaraan,” ujar Endang.

Selain itu, Endang juga menyampaikan tentang pendidikan pemilih, tujuan dilakukannya pendidikan pemilih, dan siapa saja yang berperan dalam memberikan pendidikan pemilih. 

“Mengutip Azyumardi Azra, ada beberapa urgensi Pendidikan Kewarganegaraan yaitu political literacy (tahu cara kerja demokrasi dan lembaga politik), political apathies (terlibat dalam proses-proses politik), pemberdayaan masyarakat, dan sarana membangun social engineering,” kata Anggota KPU yang membidangi Teknis Penyelenggaraan dan Hupmas itu. 

Dengan mata kuliah/pelajaran PKn, diharapkan para guru/dosen dapat memasukkan materi pendidikan pemilih dalam salah satu kurikulum. Beberapa materi pendidikan pemilih yang dapat disampaikan antara lain, makna dan pentingnya Pemilu; bagaimana Pemilu diselenggarakan; bagaimana menjadi Pemilih; bagaimana caranya berpartisipasi; bagaimana caranya menjadi Pemilih yang baik; dan hak warga negara pasca penyelenggaraan Pemilu.

Metode yang dilakukan dalam memberikan pendidikan Pemilih juga bermacam-macam, antara lain, internalisasi dalam kurikulum, ceramah/pemaparan dengan tanya jawab, diskusi kelompok, bermain peran, pembahasan kasus, dan lain-lain. 

Terkait dengan pendidikan pemilih, sudah ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh KPU, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. KPU sudah sering menerima kunjungan dari para siswa, yang paling sering adalah siswa Sekolah Dasar (SD), yang ingin mengetahui tentang Pemilu dan proses pelaksanaannya. Dalam kunjungannya, mereka diajak untuk melakukan simulasi tentang pemungutan suara dalam Pemilu. KPU juga pernah menerima kunjungan guru-guru PKn di Kota Semarang untuk meminta masukan dalam kurikulum tentang Pemilu.

“KPU Kabupaten Kuningan, sebagai contoh, juga mengadakan Lomba Cerdas Cermat. Pemenangnya menjadi Duta Pemilu dan akan diberikan pelatihan dengan metode BRIDGE (Building Resources in Government, Democracy, dan Election),” pungkas Endang Sulastri. (ctr/red)

Buku PKn SMA Dinilai Picu Radikalisasi

JAKARTA- Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listiyarti mengungkapkan, pendidikan multikultural itu seharusnya sudah diajarkan di bangku sekolah. Sayangnya, buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas X, XI, dan XII yang tidak ada satupun yang menyebut materi multikultural. Padahal, buku PKn yang dipergunakan untuk siswa SMA itu berasal dari 9 penerbit.


"Minimnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai pendidikan multikultural ini menjadi salah satu pemicu munculkan radikalisasi di Indonesia saat ini," kata Retno dalam Seminar Hasil  Penelitian Buku Teks PKn SMA & Pelatihan Pembelajaran Multikultural di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (14/6).


Dikatakan Retno, radikalisasi itu sebenarnya bisa saja diminimalisir dengan menanamkan nilai-nilai multikultural. Tapi sayangnya pendidikan mengenai multikultural tidak pernah dibahas di tingkat sekolah.


"Secara langsung atau tidak, dipastikan dapat berdampak pada proses pembelajaran yang kurang menanamkan nilai-nilai multikultural yang mengakibatkan munculnya radikalisasi di masyarakat. Padahal, pendidikan yang berkualitas di Indonesia itu sangat membutuhkan pendidikan multikultural karena bangsa Indonesia sangat majemuk dalam plural," ungkap Retno lagi.


Retno menyebutkan bahwa persoalan multikultural tidak bisa disandarkan pada kuantitas semata. Menurutnya, ada persepsi bahwa apa yang disebut dengan agama adalah yang diakui negara secara hukum legal formal. Jika melihat Indonesia secara lebih luas dan mendalam, lanjut Retno, terlihat keanekaragaman agama bukan soal satu atau enam jenis agama semata, tetapi lebih dibutuhkan sebuah pengakuan terhadap semua keyakinan yang tumbuh di masyarakat.


"Inilah yang kurang dipahami masyarakat. Sehingga mudah terjadinya radikalisasi. Pemahaman dan praktik multikulturalisme sebenarnya dapat menjadi benteng dari radikalisasi itu," imbuhnya.


Dikatakan Retno, hal yang paling ironi adalah bahwa guru SMA yang mengajar bidang studi PKn ternyata juga tidak melihat persoalan multikulturalisme sebagai sebuah persoalan kewarganegaraan dibandingkan dengan persoalan akhlak mulia dan agama.


"Para guru menganggap persoalan multikultural masih milik sosiologi yang sebenarnya lebih cenderung pada deskriptif terhadap masyarakat. Para guru memang mengerti tentang pendidikan multikultural tetapi masalahnya mereka kurang kritis dalam memahami konsep dan nilai-nilai multikultural pada sikap dan tindakan praktis dalam kegiatan proses belajar mengajar," papar Retno.


Oleh karena itu, pemerintah diminta lebih memperhatikan dan fokus pada pendidikan multikultural di dalam pembahasan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat kebijakan lebih jelas  yang dapat memayungi pelaksanaan pendidikan multikultural pada  pendidikan formal.


Peraturan mengenai pendidikan multikultural itu, kata Retno lagi, sebenarnya sudah ada pada Perpres No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2009-2014). Tepatnya, pada Bab 27 tentang peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas-huruf C-arah kebijakan poin No. 12 yang menyinggung tentang pendidikan multikultural.


"Sayangnya, arah kebijakan pendidikan ini tidak diuraikan secara nyata dalam berbagai peraturan terkait kebijakan pendidikan di Indonesia," ujarnya.(cha/jpnn)

SBY Minta Ada Pendidikan Kewarganegaraan untuk Napi Anak

Luhur Hertanto - detikNews


Jakarta - Berbeda dengan peserta didik lain seusianya, warga binaan di LP Anak perlu
mendapat pendidikan kewarganegaraan. Agar mereka usai menjalani masa
hukumannya dapat menjadi warga negara yang lebih baik.


"Diperlukan lagi pendidikan khusus untuk mengembalikan anak ke jalan yang
benar, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pelajaran tentang kepribadian, cara pandang dan kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik, good citizen," kata Presiden SBY, Selasa (17/2/2010).


Hal ini disampaikannya di sela-sela peninjauannya ke LP Anak kelas IIA,
Tangeran, Banten. Selama beberapa jam di sana, Presiden dan rombongan meninjau berbagai fasilitas dan sarana yang tersedia bagi warga binaan.


Salah satunya adalah sarana pendidikan. Di samping mata pelajaran yang lazim
diajarkan di SD dan SMP, pihak LP memberi porsi yang khusus pada pendidikan
agama sebagai upaya perbaikan dan pengembangan moral warga binaan.


Caranya adalah dengan melakukan kerjasama dengan beberapa pondok pesantren agar mengirimkan tenaga pengajarnya. Ada pula warga binaan yang telah memenuhi syarat tertentu, sengaja dikirim untuk belajar ke pondok pesantren mitra LP Anak.


"Untuk membuat anak menjadi lebih baik, saya rasa pendidikan pesantren saja
belum cukup. Sebenarnya tidak ada kelainan psikologis, mereka hanya khilaf.
Karena itu saya meminta pendidikan di LP itu juga diberikan mata pelajaran
kewarganegaraan, dengan mendatangkan guru khusus dan disampaikan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh anak," ujar SBY usai mendapat paparan Kalapas LP Anak, Priyadi, di atas.


Khusus kepada jajaran aparat LP Anak dan semua pihak yang terlibat dalam
pendidikan, Presiden SBY menyampaikan rasa hormat dan penghargaannya terhadap peran penting mereka selama ini. "Mengembalikan mereka yang tersesat ke arah benar, ini pahalanya luar biasa," kata SBY.